Minggu, 10 Agustus 2025

Pelajaran Hidup dari Guts & Griffith: Resiliensi, Ambisi, dan Realitas Pria Modern



Kembali ke Dunia Berserk

Akhir-akhir ini aku kembali membaca manga Berserk. Awalnya hanya untuk nostalgia, tapi kali ini terasa berbeda. Mungkin karena usiaku sudah 31, dan pengalaman hidup memberi lensa baru untuk menilai cerita.
Kisah kelam, penderitaan tanpa henti, dan pertarungan brutalnya kini terasa personal, seolah menggambarkan perjalanan pria di dunia nyata: berjuang, jatuh, bangkit, lalu jatuh lagi.

Dua karakter yang selalu menarik perhatianku adalah Guts dan Griffith. Keduanya luar biasa, tapi cara mereka menghadapi hidup benar-benar kontras. Di situlah letak pelajarannya.


Guts: Resiliensi yang Ditempa Penderitaan



Guts lahir tanpa privilese, tumbuh di lingkungan kekerasan, dan bertahan hidup hanya dengan pedang serta tekad. Ia adalah personifikasi dari resiliensi berbasis ketahanan (endurance-based resilience).
Dalam psikologi, konsep ini serupa dengan hardiness (Kobasa, 1979): kombinasi komitmen, kontrol, dan keberanian menghadapi tantangan.

Guts tidak memilih jalan cepat. Ia mengandalkan kesabaran, kekuatan mental, dan konsistensi untuk melawan arus hidup. Jalannya penuh luka dan kehilangan, tapi ia membangun fondasi mental yang kokoh, meski jarang mendapat pengakuan instan.


Griffith: Ambisi yang Dibungkus Strategi



Griffith adalah kebalikan dari Guts. Ia memiliki visi besar, kecerdasan sosial, karisma, dan kemampuan membaca peluang. Ia mewakili resiliensi berbasis adaptasi (adaptation-based resilience), atau yang dikenal sebagai strategic resilience (Reivich & Shatté, 2002).

Dengan strategi dan pesona, Griffith cepat naik ke puncak, meraih pengaruh dan status. Tapi semua itu dibayar mahal: kompromi nilai, pengorbanan orang terdekat, bahkan pengkhianatan demi tujuan pribadi.


Resilience Theory: Memahami Dua Jalan

Resilience Theory (Masten, 2001) menjelaskan bahwa ketahanan bukan hanya bawaan lahir; ia bisa dibentuk. Ada dua jalur utama:

  1. Endurance-Based Resilience → Guts: lambat, penuh ujian, tapi membangun jiwa yang kuat.

  2. Adaptation-Based Resilience → Griffith: cepat, strategis, tapi rentan kehilangan arah moral.

Penelitian APA (2014) menemukan bahwa kombinasi keduanya adalah bentuk resiliensi paling efektif. Bedanya, di usia:

  • 20-an: adaptasi lebih dominan (fleksibilitas tinggi, banyak mencoba hal baru).

  • 30-an: ketahanan lebih dominan (prinsip sudah teruji, tapi energi sosial berkurang).


Relevansi untuk Pria Modern

Di usia 30-an, bangkit memang tidak semudah di usia 20-an. Waktu, energi, dan kesempatan sosial tidak sama. Tapi hidup selalu memberi pilihan, dan satu-satunya kepastian hanyalah lahir dan mati.
Pertanyaannya: mau jadi Guts yang memegang prinsip meski menderita, atau Griffith yang mengorbankan sebagian diri demi hasil cepat?

Di dating market modern, banyak wanita mungkin akan memilih “Griffith” terlebih dahulu; status aman, finansial stabil. “Guts” sering baru diakui setelah bertahun-tahun membangun. Namun, kedamaian batin (inner peace) yang lahir dari jalan Guts adalah sesuatu yang bahkan Griffith pun tak bisa beli.


Berserk mengajarkan bahwa resiliensi bukan hanya tentang siapa yang menang, tapi siapa yang tetap berdiri saat badai mereda.

Seperti kata Albert Camus tentang Sisyphus, "kita harus membayangkan Sisyphus bahagia, bukan karena hidupnya mudah, tapi karena ia memilih untuk memikul bebannya dengan kepala tegak"

Bangkit di usia 30-an mungkin terasa terlambat bagi sebagian orang, tapi bagi mereka yang memahami esensi Guts; ketahanan, integritas, dan fokus pada perjalanan. Itu hanyalah titik awal babak baru. Dunia tidak akan pernah adil, tapi kita selalu punya pilihan untuk tetap berdiri.

Vagabond dan Kebangkitan di Usia 30-an

 "Hidup hanya memberi kita dua kepastian: kita lahir, dan kita mati. Sisanya adalah pilihan, dan aku memilih untuk maju."


Awal yang Kelam

Tiga tahun lalu, aku berada di titik terendah hidupku.
Patah hati bukan sekadar kehilangan seseorang — aku kehilangan diriku sendiri.
Hari-hari berlalu seperti kabut tebal; pekerjaan hanyalah autopilot, pertemuan dengan teman terasa hambar, dan malam-malam panjang dihabiskan menatap langit-langit kamar.

Di usia 30, bangkit tidak semudah di usia 20-an. Energi berkurang, lingkar pertemanan mengecil, dan waktu terasa melaju tanpa kompromi. Tapi hidup selalu punya pilihan: maju atau menyerah.


Norma yang Membungkam

Sebagai laki-laki, aku tahu dunia tidak akan menunggu atau memberi waktu untukku pulih. Norma sosial mengajarkan untuk “kuat” dan “tidak mengeluh” — tapi American Journal of Men’s Health membuktikan, tekanan untuk menekan emosi justru membuat laki-laki rentan terhadap depresi dan kesepian.

Aku pun merasakannya. Sendirian. Terjebak di lingkar pikiran sendiri.


Pelajaran dari Sebuah Komik

Perubahan datang dari tempat yang tak kusangka: Vagabond, manga karya Takehiko Inoue.
Miyamoto Musashi mengajarkanku bahwa kekuatan sejati bukan mengalahkan orang lain, tapi menaklukkan ego dan ketakutan sendiri.

"Perjuangan itu sendiri sudah cukup untuk memenuhi hati manusia." – Albert Camus

Masalah bukan untuk dihapus, melainkan untuk dihadapi. Penderitaan bukan hukuman, tapi bahan bakar pembentukan diri.


Boxing Sebagai Cermin

Dari halaman manga, aku melangkah ke ring tinju.
Tinju mengajarkan kesabaran, membaca gerak lawan, dan menerima pukulan tanpa panik. Nafas yang memburu, tangan yang berat, dan keringat di mata mengajarkan satu hal: kekuatan adalah kemampuan fokus saat tubuh ingin menyerah.

Journal of Psychiatric Research mencatat bahwa olahraga intens seperti tinju dapat menurunkan gejala depresi. Aku membuktikannya. Setiap ronde yang kuselesaikan adalah bukti bahwa aku bisa bertahan, bukan hanya di ring, tapi di hidup.


Damai, Bukan Sekadar Bahagia

Awalnya aku pikir tujuanku adalah kembali bahagia. Tapi kebahagiaan itu sesaat. Damai berbeda; ia stabil, tenang, dan hanya datang lewat disiplin pikiran dan tubuh.

Stoisisme mengajarkan untuk mengendalikan yang bisa dikendalikan. Buddhisme menambahkan: terimalah penderitaan tanpa terikat padanya.

Di sini aku baru paham perbedaan menjadi baik karena kuat dan baik karena lemah.

Nietzsche menyebutnya perbedaan antara moralitas tuan dan moralitas budak. Orang yang baik karena kuat memilih kebaikan meski punya kemampuan untuk melukai. Orang yang baik karena lemah hanya “baik” karena tidak mampu berbuat sebaliknya.


Prinsip untuk Bertahan

  1. Hadapi rasa sakit, jangan kabur.

  2. Belajar dari seni, filsafat, dan olahraga.

  3. Bangun ketenangan batin yang tidak bisa diambil siapa pun.

"Today is victory over yourself of yesterday; tomorrow is your victory over lesser men." – Miyamoto Musashi

Hidup hanya punya dua kepastian: lahir dan mati.
Sisanya adalah ruang untuk memilih dan aku memilih untuk maju.






Senin, 21 Oktober 2024

Voor Josephine II

You’d laugh when your cat curled up on my knee

And we’d name the stars that we’d never see.

We spoke of nothing, but it felt so right

Random moments that colored the night.


And if I could turn back the clock

I’d still choose that moment with you

Sitting in silence, nothing to say

But I’d fall in love, all over again with you.


Lying on the bed, not a word between us

Just the warmth of you, holding me close

Your arms were the place I found my home

Every day with you, I never felt alone.


Even though I know you'd walk away

Even though there's heartache at the end of the day

I wouldn’t hesitate, I’d choose you again

And love you each day, no matter the pain.


And if I could turn back the clock

I’d still choose that moment with you

Holding me tight, for the very first time

And I’d fall in love, again and again with you.


 

Minggu, 29 Oktober 2023

Voor Josephine

You and I, like a dream so real
No distance between us, nothing to conceal
Driving through the city, just us two
Or lying in bed, holding tight like we used to.

I still see you in every place we’ve been
Every street, every light, brings back everything.

We were everything we used to say
But in the whispers of yesterday
The world has changed, I see the way
My heart will always be the same.

Days we spent, lost in our little world
No plans, no rush, just me and you
Through quiet nights or long drives alone
The moments felt like home, like I’d never roam.

I still feel your touch in the air around
But the silence now is the only sound.

Time has left me with so much to ask
No answers, just memories fading fast
I’ve been mad at time, for stealing you away
But maybe it’s time to let go today.

Minggu, 04 Juli 2021

Life, Love, Learn Pt. I

 CHAPTER 1 - LIFE

Wow, sudah lama juga sejak terakhir saya menulis di blog ini. Semenjak itu pula sudah banyak sekali cerita kehidupan yang sudah terlewati. Ya, sesuai dengan judul it's all about Life, Love, and Learn. Bagaimana hidup saya berjalan setelah banyak peristiwa dari senang, sedih, kecewa, hancur, dan menerima.

Tidak bisa dipungkiri hidup saya mulai agak berubah semenjak bapak meninggal dunia bulan Desember 2017. Sebenarnya tidak terlalu ada sangkut pautnya, akan tetapi lingkungan di sekitar terhadap saya lah yang berubah. Beberapa bulan itu ibu saya menjadi sangat-sangat sedih, anatara sedih ditinggal bapak karena merasa "kurang bisa menjadi istri yang baik" dan "takut akan kematiannya kelak". Hari-hari itu, ibu selalu terbayang-bayang akan kematian. Mau tidak mau saya yang saat itu masih bekerja di Yogyakarta, yang biasanya pulang seminggu sekali menjadi dua kali. Badan rasanya remuk. Hingga akhirnya memutuskan untuk resign beberapa bulan kemudian.

Setelah resign saya kira akan bisa rehat sejenak setelah dipusingkan dengan pekerjaan dan kondisi ibu. Ternyata ada tekanan datang lagi yang tidak lain dari kakak kandung saya sendiri. Kakak saya adalah orang ter-konservatif dan strict dari semua orang yang saya kenal. Tipikal orang yang keras kepala (meskipun saya juga) dan selalu merasa bahwa pendapatnya paling benar dan tidak mau kalah berdebat hingga ke hal-hal kecil. Baginya hidup hanyalah soal hitam dan putih. Dulu dia tidak begitu. Sifatnya berubah semenjak bekerja dan "mengenal uang". Dia orang yang paling menentang keputusan saya untuk resign. Bagi dia, pekerja itu harus loyal dan patuh dengan apapun yang terjadi di kantor. Dia tidak sadar dunia telah berubah, dia tidak sadar bahwa industri berkembang sangat pesat untuk saya yang bekerja dan hidup di industri kreatif, hal yang sampai kapanpun dia tidak (mau) tahu. Dan yang paling dia lupakan bahwa saya tidak bisa bekerja ke tempat yang jauh (re:Jakarta) juga karena dia menyuruh saya untuk bekerja di Solo agar bisa menjaga ibu saya sedangkan dia sendiri sudah merantau terlebih dulu. 

Dia (sok-sokan) menjadi kepala keluarga sepeninggal bapak saya. Iya, memang secara status begitu akan tetapi kenyatannya tidak ada satu hal pun yang ia lakukan selayaknya kepala keluarga. Terlalu sering juga dia mengatur apa yang harus dilakukan orang lain agar menjadi baik menurutnya sekalipun orang itu tidak nyaman. Dia adalah tipikal orang yang bisa dikatakan memaksakan kehendak. Misal jika ia mengajakmu ke suatu tempat dan kamu menolak dia akan membuatmu risih hingga kamu berkata iya. Hingga pada akhirnya dia memaksa aku untuk berinvestasi pada sebuah Fintech P2P Lending yang sebenarnya saya sendiri kurang percaya.

Selang waktu berjalan ternyata benar investasi ini hancur. Semacam investasi bodong dengan skema ponzi. Waktu itu saya masih berusia 25 tahun dan sudah mengalami kerugian sebesar 100 juta rupiah. Bisa kamu bayangkan betapa kecewanya saya. Kejadian itupun dibarengi dengan masalah lain dan datang secara beruntun.

Hari-hari itu saya ditinggal pergi klien saya dan belum membayar. 100 juta sayang saya kumpulkan hilang begitu saja. Hanya tinggal sedikit tabungan di rekening. Mobil tua saya mulai menunjukkan banyak gejala kerusakan dan harus dibereskan satu per satu.

Akhirnya saya dapat bekerja lagi berkat bergabung dengan agensi kakak tingkat saya, OwalahLabs. Gaji yang saya dapat cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, pada awalnya. Mobil mulai menunjukkan kerusakan lagi, kucing-kucing yang saya pelihara sakit secara bersamaan. Dan hingga akhirnya, pacar saya memutuskan untuk meninggalkan saya. Hari itu, hari yang tidak akan pernah saya lupakan selama hidup saya. Hancur sehancur-hancurya dan mencoba bangkit sedikit demi sedikit sembari menutup luka dalam-dalam.

Kamis, 11 Januari 2018

Hidup Enggan, Mati Tak Mau

'Follow your passion
it will lead you to
your purpose'
 - Oprah Winfrey

Begitulah kata Oprah Winfrey tentang bagaimana kita harus bersikap kepada passion kita.  Tapi sejauh mana kita harus tetap bertahan dengan passion-passion kita dan tetap memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita?

Pada dasarnya saya adalah orang bebas. Orang-orang terdekat saya pun paham akan hal tersebut.  Mereka bilang saya idealis. Mereka bilang saya terlalu tinggi mentarget tujuan saya. Saya bukan tipikal orang yang biasa berdiam diri di satu tempat dalam waktu yang lama. Bukan tipikal orang yang cocok untuk sekolah secara normal, atau bekerja kantoran. Tapi disitulah letak masalahnya.

Saya adalah seorang fotografer dan cinematographer (bukan videographer). Sebagai seorang 'seniman' saya punya goal sendiri terhadap apa yang saya kerjakan. Ketika masih kuliah saya sangat sering mengeksplor ide-ide untuk melakukan sebuah sesi pemotretan atau untuk membuat storyline untuk film yang ingin saya produksi (meskipun waktu itu tidak jadi diproduksi). Seiring berjalannya waktu saya sadar kemampuan teknis per-kamera-an saya lebih bagus daripada kemampuan storytelling saya. Waktu itu saya berharap suatu saat ingin bekerja di sebuah PH (production house) atau minimalnya di agency-agency untuk meningkatkan skill saya.

Setelah wisuda di bulan April, saya berencana melanjutkan bekerja di sebuah PH. Tetapi waktu itu kebetulan lowongan-lowongan seputar film dan video sedang sepi. Saya mulai kebingungan sebagai seorang sarjana yang masih saja menganggur. Akhirnya target saya turunkan sedikit untuk mencari PH yang lebih dekat dikarenakan juga sakit bapak sudah mulai parah. Tetapi ternyata masih tidak ada juga.

Masuk ke bulan Juni ada sebuah lowongan pekerjaan di sebuah media yang 'dulunya' menjadi salah satu web favorit saya untuk mengisi kekosongan. Media ini terlihat sangat asyik, kontenya banyak berupa tips, motivasi hidup, percintaan, pokoknya permasalahan yang dialami usia 20-30an. Ekspektasi awal saya mendaftar karena saya sudah sangat sering membaca artikel di media ini dan beberapa artikel sangat bisa untuk di-film-kan (film! bukan hanya video!). Singkat cerita saya pun diterima bekerja di sini.

Saya ditugaskan untuk membuat konten-konten video yang menarik di sini. Saya juga sudah membeberkan ide-ide saya yang sesuai dengan identitas media ini.

Tetapi....

Bukannya mereka menolak, tetapi jajaran media ini lebih ingin mengejar kuantitas daripada kualitas. Sebagai seorang cinematographer saya merasa diinjak-injak. Dan juga selama ini saya bekerja sendirian tanpa adanya sebuah tim.

Saya merenung dan berpikir. Sebelumnya saya sudah pernah bekerja di sebuah video production di Jawa Timur dan sebenarnya saya lebih nyaman di sana. Karena harus menyelesaikan kuliah saya pun mengundurkan diri.

Tetapi disini saya mulai bimbang dan resah dengan diri saya sendiri. Gaji yang saya dapat di sini lumayan besar, akan tetapi yang saya pertaruhkan adalah mimpi-mimpi saya. Saya tidak bisa berkembang. Saya makin bodoh. Satu-satunya yang membuat saya bertahan karena belum ada lowongan lain. Hari ke hari saya seperti mayat hidup.

I lost my hope
I lost my passion
My senses die
My eyes closed
I'm dead
But I'm alive
 Saya merasa insting-insting saya mulai melemah. Kepekaan saya terhadap sesuatu hilang. Saya kehilangan sentuhan. Saya sedih. Saya mati.

Rabu, 06 Desember 2017

Sate Klathak Ala Imogiri

Telah melewati bulan ke 3 menjadi manusia yang bermukin di kota yang katanya "romantis. Dan setelah menulis blog sekian lama akhirnya memberanikan diri untuk menulis yang lebih bermanfaat.

Saya bekerja sebagai seorang produser video di sebuah social news site yang cukup terkenal. Traveling dan jajan sudah menjadi hobi saya sejak lama. Selain itu saya sudah belajar masak semenjak duduk di bangku SMP, jadi tidak ada salahnya saya mulai mengulas tentang makanan.

Beberapa minggu yang lalu saya membuat video review tentang sate klathak ini. Sate klathak banyak dijumpai di sepanjang jalan Imogiri Timur, Bantul, Yogyakarta. Sebenarnya sudah cukup banyak orang mengetahui Sate klathak. Dan menurut beberapa orang dan talent saya sebagai host di video tersebut, sate Pak Pong lah yang paling enak.

Oh benarkah? saya bertanya-tanya apa benar seenak itu.

Akhirnya saya langsung membuat video tersebut tanpa ba-bi-bu (karena deadline juga sih). Selama proses tersebut saya juga ikut mencicipi sate klathak Pak Pong yang katanya terkenal itu.

Dan....menurut saya.....

Tidak ada yang sepesial dari sate ini. Masih kalah dengan sate andalan saya di Solo yaitu Sate Kambing Mbok Galak. Kemudian saya bertanya-tanya lagi. Apakah di sekitar sini tidak ada sate yang lebih enak?

Beberapa hari kemudian selepas bekerja saya kembali ke Bantul untuk mencari warung sate klathak lain. Dengan hanya bermodal google dan insting traveler, saya menemukan sebuah warung sate klathak yang berada di dalam pasar.

saya langsung memarkir motor dan ingin segera memesan. Tapi ternyata saya datang terlalu cepat. Warung baru buka jam 19.00 sedangkan saya sampai sekitar pukul 18.40. Sembari menunggu saya browsing di Google dan menemukan warung ini bernama Sate Klathak Pak Bari Pasar Wonokromo.



Kondisi warung sate ini berbeda dengan warung sate klathak Pak Pong. Warung Pak Pong jauh lebih bagus dan rapih (mungkin karena sering disinggahi artis ibu kota). Sedangkan warung pak bari ini hanya di dalam pasar, lesehan dengan tikar, bahkan masih ada barang dagangan pedagang lain yang ditinggal di dalam pasar. Tapi jangan salah, pengunjung yang datang kesini rata-rata menggunakan mobil yang berarti warung sate sederhana ini tidak main-main!.



Akhirnya pesanan saya datang. Rata-rata porsi sate klathak hanya 2 tusuk. Tapi saya memesan 3 tusuk. Harga satu porsi sate klathak di sate Pak Bari adalah Rp 20.000. Tambahan per tusuknya Rp 10.000.




Begitu sate klathak datang langsung saya cicipi kuah gulainya terlebih dahulu. Dan ternyata benar, disini rasa kuah gulainya lebih tasty dibanding sate klathak Pak Pong. 



Giliran sang daging yang kini saya santap. Memang karakter rasa sate klathak ini lebih soft karena memang bumbunya hanya terdiri dari garam dan merica. Tetapi sate klathak Pak Bari ini bumbunya lebih terasa, asin dan pedas mericanya pas. sedangkan di Pak Pong rasanya cenderung lebih hambar. 

Saya juga mencicipi menu lainnya yaitu 'kicik daging' (maaf tidak sempat memfoto). Saya juga baru pertama mendengar nama kicik ini. Kicik ini hampir mirip dengan tongseng, tetapi disajikan secara kering (tumis, tidak berkuah banyak) dan mempunyai rasa pedas. Kesan pertama melahap kicik daging ini adalah 'wow he is the man'. Dari sekian menu yang ada, kicik ini lah yang menurut saya paling the best rasanya.



Untuk kalian yang sedang main di Jogja dan ingin makan sate klathak, coba singgah di warung sate klathak Pak Bari ini. Selain karena buka di malam hari, lalu lintas dari Jogja menuju Bantul sudah mulai lengang. Dan untuk rasa sate klathak menurut saya 'the best in town!'

Sekian dulu tulisan dari saya. Semoga saya bisa tetap konsisten menulis sesuatu yang lebih bermanfaat seperti ini.

Thank you.