"Hidup hanya memberi kita dua kepastian: kita lahir, dan kita mati. Sisanya adalah pilihan, dan aku memilih untuk maju."
Awal yang Kelam
Tiga tahun lalu, aku berada di titik terendah hidupku.
Patah hati bukan sekadar kehilangan seseorang — aku kehilangan diriku sendiri.
Hari-hari berlalu seperti kabut tebal; pekerjaan hanyalah autopilot, pertemuan dengan teman terasa hambar, dan malam-malam panjang dihabiskan menatap langit-langit kamar.
Di usia 30, bangkit tidak semudah di usia 20-an. Energi berkurang, lingkar pertemanan mengecil, dan waktu terasa melaju tanpa kompromi. Tapi hidup selalu punya pilihan: maju atau menyerah.
Norma yang Membungkam
Sebagai laki-laki, aku tahu dunia tidak akan menunggu atau memberi waktu untukku pulih. Norma sosial mengajarkan untuk “kuat” dan “tidak mengeluh” — tapi American Journal of Men’s Health membuktikan, tekanan untuk menekan emosi justru membuat laki-laki rentan terhadap depresi dan kesepian.
Aku pun merasakannya. Sendirian. Terjebak di lingkar pikiran sendiri.
Pelajaran dari Sebuah Komik
Perubahan datang dari tempat yang tak kusangka: Vagabond, manga karya Takehiko Inoue.
Miyamoto Musashi mengajarkanku bahwa kekuatan sejati bukan mengalahkan orang lain, tapi menaklukkan ego dan ketakutan sendiri.
"Perjuangan itu sendiri sudah cukup untuk memenuhi hati manusia." – Albert Camus
Masalah bukan untuk dihapus, melainkan untuk dihadapi. Penderitaan bukan hukuman, tapi bahan bakar pembentukan diri.
Boxing Sebagai Cermin
Dari halaman manga, aku melangkah ke ring tinju.
Tinju mengajarkan kesabaran, membaca gerak lawan, dan menerima pukulan tanpa panik. Nafas yang memburu, tangan yang berat, dan keringat di mata mengajarkan satu hal: kekuatan adalah kemampuan fokus saat tubuh ingin menyerah.
Journal of Psychiatric Research mencatat bahwa olahraga intens seperti tinju dapat menurunkan gejala depresi. Aku membuktikannya. Setiap ronde yang kuselesaikan adalah bukti bahwa aku bisa bertahan, bukan hanya di ring, tapi di hidup.
Damai, Bukan Sekadar Bahagia
Awalnya aku pikir tujuanku adalah kembali bahagia. Tapi kebahagiaan itu sesaat. Damai berbeda; ia stabil, tenang, dan hanya datang lewat disiplin pikiran dan tubuh.
Stoisisme mengajarkan untuk mengendalikan yang bisa dikendalikan. Buddhisme menambahkan: terimalah penderitaan tanpa terikat padanya.
Di sini aku baru paham perbedaan menjadi baik karena kuat dan baik karena lemah.
Nietzsche menyebutnya perbedaan antara moralitas tuan dan moralitas budak. Orang yang baik karena kuat memilih kebaikan meski punya kemampuan untuk melukai. Orang yang baik karena lemah hanya “baik” karena tidak mampu berbuat sebaliknya.
Prinsip untuk Bertahan
Hadapi rasa sakit, jangan kabur.
Belajar dari seni, filsafat, dan olahraga.
Bangun ketenangan batin yang tidak bisa diambil siapa pun.
"Today is victory over yourself of yesterday; tomorrow is your victory over lesser men." – Miyamoto Musashi
Hidup hanya punya dua kepastian: lahir dan mati.Sisanya adalah ruang untuk memilih dan aku memilih untuk maju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar