Rabu, 06 Desember 2017

Sate Klathak Ala Imogiri

Telah melewati bulan ke 3 menjadi manusia yang bermukin di kota yang katanya "romantis. Dan setelah menulis blog sekian lama akhirnya memberanikan diri untuk menulis yang lebih bermanfaat.

Saya bekerja sebagai seorang produser video di sebuah social news site yang cukup terkenal. Traveling dan jajan sudah menjadi hobi saya sejak lama. Selain itu saya sudah belajar masak semenjak duduk di bangku SMP, jadi tidak ada salahnya saya mulai mengulas tentang makanan.

Beberapa minggu yang lalu saya membuat video review tentang sate klathak ini. Sate klathak banyak dijumpai di sepanjang jalan Imogiri Timur, Bantul, Yogyakarta. Sebenarnya sudah cukup banyak orang mengetahui Sate klathak. Dan menurut beberapa orang dan talent saya sebagai host di video tersebut, sate Pak Pong lah yang paling enak.

Oh benarkah? saya bertanya-tanya apa benar seenak itu.

Akhirnya saya langsung membuat video tersebut tanpa ba-bi-bu (karena deadline juga sih). Selama proses tersebut saya juga ikut mencicipi sate klathak Pak Pong yang katanya terkenal itu.

Dan....menurut saya.....

Tidak ada yang sepesial dari sate ini. Masih kalah dengan sate andalan saya di Solo yaitu Sate Kambing Mbok Galak. Kemudian saya bertanya-tanya lagi. Apakah di sekitar sini tidak ada sate yang lebih enak?

Beberapa hari kemudian selepas bekerja saya kembali ke Bantul untuk mencari warung sate klathak lain. Dengan hanya bermodal google dan insting traveler, saya menemukan sebuah warung sate klathak yang berada di dalam pasar.

saya langsung memarkir motor dan ingin segera memesan. Tapi ternyata saya datang terlalu cepat. Warung baru buka jam 19.00 sedangkan saya sampai sekitar pukul 18.40. Sembari menunggu saya browsing di Google dan menemukan warung ini bernama Sate Klathak Pak Bari Pasar Wonokromo.



Kondisi warung sate ini berbeda dengan warung sate klathak Pak Pong. Warung Pak Pong jauh lebih bagus dan rapih (mungkin karena sering disinggahi artis ibu kota). Sedangkan warung pak bari ini hanya di dalam pasar, lesehan dengan tikar, bahkan masih ada barang dagangan pedagang lain yang ditinggal di dalam pasar. Tapi jangan salah, pengunjung yang datang kesini rata-rata menggunakan mobil yang berarti warung sate sederhana ini tidak main-main!.



Akhirnya pesanan saya datang. Rata-rata porsi sate klathak hanya 2 tusuk. Tapi saya memesan 3 tusuk. Harga satu porsi sate klathak di sate Pak Bari adalah Rp 20.000. Tambahan per tusuknya Rp 10.000.




Begitu sate klathak datang langsung saya cicipi kuah gulainya terlebih dahulu. Dan ternyata benar, disini rasa kuah gulainya lebih tasty dibanding sate klathak Pak Pong. 



Giliran sang daging yang kini saya santap. Memang karakter rasa sate klathak ini lebih soft karena memang bumbunya hanya terdiri dari garam dan merica. Tetapi sate klathak Pak Bari ini bumbunya lebih terasa, asin dan pedas mericanya pas. sedangkan di Pak Pong rasanya cenderung lebih hambar. 

Saya juga mencicipi menu lainnya yaitu 'kicik daging' (maaf tidak sempat memfoto). Saya juga baru pertama mendengar nama kicik ini. Kicik ini hampir mirip dengan tongseng, tetapi disajikan secara kering (tumis, tidak berkuah banyak) dan mempunyai rasa pedas. Kesan pertama melahap kicik daging ini adalah 'wow he is the man'. Dari sekian menu yang ada, kicik ini lah yang menurut saya paling the best rasanya.



Untuk kalian yang sedang main di Jogja dan ingin makan sate klathak, coba singgah di warung sate klathak Pak Bari ini. Selain karena buka di malam hari, lalu lintas dari Jogja menuju Bantul sudah mulai lengang. Dan untuk rasa sate klathak menurut saya 'the best in town!'

Sekian dulu tulisan dari saya. Semoga saya bisa tetap konsisten menulis sesuatu yang lebih bermanfaat seperti ini.

Thank you.





Senin, 16 Oktober 2017

Oyi Sam, Ayas Kera Ngalam

"- Kon arek ndi a?

- Ayas kera ngalam sam! 

- Salam satu jiwa!"
Malam ini Jogja sedang dingin. Sudah sebulan lebih aku tinggal di Jogja dan sekarang sudah masuk musim penghujan. Sekarang aku sudah bekerja disini setelah sebelumnya kebingungan karena belum mendapat pekerjaan setelah hari kelulusanku.

Tapi entah kenapa selama sebulan lebih disini aku merasa ada yang hilang. Rasanya ada sesuatu yang belum sempat aku kerjakan. Tapi karena sekarang sudah bekerja aku harus menekan perasaan itu dalam-dalam.

Dingin di kota Jogja ini mengingatkanku pada sebuah kota dimana rasanya selalu menarikku untuk kembali mengunjunginya, Malang. Mungkin aku bukan penduduk asli Malang ataupun mahasiswa yang sempat menempuh pendidikan di Malang. Aku hanya sempat mengambil kerja profesi (magang) di Malang.

Ketika masih kuliah, aku termasuk orang yang sangat senang sekali menjelajah. Kalau kata anak zaman sekarang disebut traveler. Sudah banyak kota di pulau Jawa yang aku kunjungi. Ketika mengambil mata kuliah kerja profesi tiba, aku memilih Malang untuk menjadi kota tujuanku.

Alun-alun Malang. Diambil dari drone.

Aku selalu merasa Malang punya daya tarik khusus di mataku. Bahasa kiwalan (walikan yang berarti terbalik) yang khas, suasana dinginnya kota di malam hari (meskipun orang asli Malang bilang sudah tidak sedingin dulu), tahu campur ketika bingung mau makan apa, atau suasana ketika aku menyendiri di Kota Batu karena kesepian.

Stasiun kota Malang.

Pertama kali aku menginjakkan kakiku di Malang aku langsung jatuh cinta pada kota ini. Ada emosi tersendiri antara aku dan kota ini. Aku selalu menyukai kota yang mempunyai udara sejuk. Aku suka menyusuri kota ketika malam setelah pulang bekerja sampai-sampai membuat sepupuku khawatir karena belum pulang.

Taman bunga Selecta.

Lebih dari sekali aku mengunjungi Malang. Bahkan aku sampai mengajak teman-temanku untuk menjelajahi kota ini

"- Sob, mau ikut gue ke Malang gak? Kotanya syahdu abis sekalian gue ambil motor

- Boleh cuy, tancap gas lah"
Hingga kedua kalinya aku kesana, kembali aku merasakan emosi yang sama. Emosi yang hanya bisa kurasakan sendiri. Tetapi kali ini aku tidak sendirian, aku bersama temanku, Abi. Aku dengan bangga mengenalkannya pada kota ini. Mengajaknya berkeliling di Alun-Alun malang, Menyusuri Kota Wisata Batu dari siang hingga malam. Menikmati gerimis yang menyebalkan (ketika kehujanan) tapi aku suka.

Malang di malam hari. Diambil dari Kota Batu.

Aku kembali ke Malang ketiga kalinya saat berlibur bersama teman-teman ke Bromo. Karena memang lebih nyaman melewati Malang untuk menuju Bromo yang ada di Probolinggo. Mungkin kali ini hanya singkat untuk mampir istirahat, sholat, dan makan siang. Emosi itu muncul lagi dalam benakku. Ditambah waktu itu Malang hujan ketika kami tiba disana. Suasana yang aku suka.

 Suasana alun-alun Kota Batu.

Keempat kalinya ke Malang ketika aku menggarap project tugas akhirku. Dan keempat kalinya aku merasakan emosi itu lagi. Hingga akhirnya aku berpikir aku memiliki 'zink' dengan kota ini. Bukan hanya 'cinta' tetapi 'zink' (untuk kalian yang pernah menonton Hotel Transylvania pasti paham). Kembali aku menyusuri jalanan yang sama, tempat yang sama, selalu ada yang membuatku nyaman untuk berlama-lama di kota ini.

Bianglala alun-alun Kota Batu. 3000 aja cuy!

Terima kasih telah menjadi bagian dalam perjalanan masa mudaku. Masa muda yang tidak mungkin diputar kembali. Tidak pernah ada sesal untuk mengunjungimu kembali.

Terima kasih banyak...Malang

Sabtu, 15 Juli 2017

The Internet Era

Setelah kemarin saya memposting tulisan mengenai kelakuan generasi milenial, kali ini saya akan menuangkan pemikiran saya tentang apa yang terjadi di era internet ini.

Saya sering bertukar pikiran dengan anggota keluarga saya terutama oleh ibu. Ibu saya mungkin hanya tamatan SMA tetapi pemikiran beliau sangat modern dan visioner itulah mengapa kami sering berdebat maupun membahas apapun. Tadi pagi ibu saya bercerita kepada saya setelah mendapat info dari grup whatsapp kelompok pengajiannya. Beliau menceritakan tentang berita bangkitnya PKI dan akan di-sahkannya aliran syiah di Indonesia. Tapi tunggu. Bukan hal tersebut yang akan saya bahas. Akan tetapi semodern apapun ibu saya, tetap saja beliau kurang bisa memfilter berita-berita yang tersebar di internet.

Okay kembali ke topik. Pernahkah anda merasa risih ada dalam grup chat keluarga? Pastilah ada anggota keluarga yang rajin menyebarkan berita hoax dan memancing kebencian (hate speech) terhadap suatu hal. Atau melihat adik atau sepupu atau keponakan anda yang mulai bermain fidget spinner? dan merasa mereka sudah menjadi korban zaman?

Pernahkah anda berpikir, "kok bisa sih kalian ini cepet banget percaya?", "kok bisa sih gampang banget kebawa arus?", "kok kalian alay sih ikutan ini itu?". Yah, itu yang terjadi di era intrenet ini. Kita mulai ke bahasan yang pertama yaitu "era kelahiran". Saya bagi era kelahiran ini menjadi tiga bagian yaitu, Pra-Internet, Internet, dan Post-Internet (jangan cari kosa kata ini dimanapun, ini saya sendiri yang memberi nama).

1. Pra-Internet
   Saya anggap pra-internet ini adalah orang-orang yang lahir dan tumbuh sebelum adanya teknologi internet. Orang-orang ini lahir sebelum medio 90an. Pada zaman tersebut media informasi belumlah banyak. Bahkan media pada zaman tersebut sangat dikekang oleh rezim Soeharto. Dan ketika mereka tumbuh dan berkembang mereka melewatkan proses perkembangan internet (mungkin melewati, tetapi tidak merasakan). Nah, orang-orang ini baru benar-benar bisa menggunakan internet ketika internet telah berkembang sangat pesat dan menjadi media informasi utama. Sehingga dengan pengetahuan yang masih terbawa dari masa lalu tentang suatu informasi masih terbawa ke zaman sekarang dimana berita hoax sangatlah banyak dan berkembang pesat sehingga mereka kurang bisa memfilter suatu informasi.

2. Internet
   Era internet ini adalah orang-orang yang lahir pada medio 90an. Kenapa 90an terasa spesial bagi beberapa orang? kenapa selalu era 90an yang menjadi bahasan dan kebanggaan dimana-mana? Kenapa era 90an menjadi kenangan tersendiri? Karena pada era inilah teknologi mulai berkembang pesat tetapi masih dibarengi dengan norma-norma tradisional dan menjadikan anak-anak di era ini tumbuh dengan ideal. Orang-orang di era internet ini melewati dan mengikuti perkembangan internet. Mereka tahu bagaimana awal internet terbentuk hingga berkembang menjadi media informasi yang paling utama sekarang ini. Orang-orang di era internet ini juga telah mempelajari komputer sejak dini sehingga mereka tau bagaimana mengoperasikannya. Oleh karena itulah mereka tahu bahwa sebuah foto bisa diedit melalui aplikasi atau bagaimana sebuah berita palsu dibuat. Tetapi yang menjadi point nya adalah orang-orang di era internet lebih bijak dalam memfilter berita dan juga tetap memperhatikan norma dalam menyampaikan pendapat secara online mengingat era ini adalah era internet semuanya serba online.

3. Post-Internet
    Post-internet ini adalah era yang paling terakhir. Lahir dan tumbuh di era milenial (2000-an). Anak-anak di era ini cenderung lebih pintar karena orang tua mereka pun sudah banyak yang berpemikiran modern. Anak-anak era post-internet ini tumbuh saat internet sudah menjadi media yang sangat utama. Segala hal dapat dilakukan dengan satu klik. Anak-anak era ini sudah sangatlah faseh dalam menggunakan gadget, komputer, atau perangkat canggih lainnya. Yang menjadi masalah di era ini adalah mereka sudah terkena imbas negatif internet dalam usia yang relatif masih muda. Sedangkan di usia tersebut anak-anak sedang mengalami rasa ingin tau yang sangat tinggi. Oleh karena itulah banyak dari mereka yang mendapat influence selebriti internet yang kurang terpuji dan menganggap hal tersebut adalah suatu trend yang sangat keren. Akibatnya sudah saya beberkan pada tulisan saya yang sebelumnya. Mereka tidak memiliki karakter yang kuat dan cenderung ikut-ikutan, turunnya minat membaca, dan yang paling parah tidak tahu bagaimana cara menghormati orang lain. Budaya yang mereka dapat dari internet mereka bawa ke kehidupan nyata dan membuat mereka menjadi generasi yang lemah mentalnya dan demoralisasi.

Sekian tulisan saya kali ini. Jikapun ada pendapat marilah kita berdiskusi dengan baik dan landasan yang kuat. 

Thank you.

Kamis, 13 Juli 2017

Show Some Respect KIDS !

Setelah lama tidak menulis, akhirnya saya memutuskan untuk menulis lagi untuk menuangkan pikiran saya. Kali ini saya akan membahas tentang "generasi milenial" (biasanya terdapat jokes dengan sebutan "generasi awkarin").

Baru saja saya membaca blog dari salah satu blogger dan penulis yang cukup terkenal dengan nama aMrazing. Tulisan tersebut diberi judul "Lazy Millenial Generation". Setelah saya baca sebenarnya saya cukup setuju dengan beberapa pemikirannya.


Sampai pada akhirnya ada secuil tulisan mengenai tentang rasa hormat/ respect. Dia mengatakan generasi milenial ini ingin serba efektif dan efisien termasuk tidak mau ribet untuk menjadi sok manis dan menjilat atasan dan berpikir we're all equal tidak peduli berapapun usia anda. Tetapi, tolong bedakan respect dengan sok manis atau menjilat atau apapun.


Beberapa hari kemarin saya melihat anak belum cukup umur mengendarai motor tidak memakai helm dan saya yakin tidak memiliki surat izin, melanggar lampu merah dan hampir menabrak seorang bapak-bapak. Lalu bapak tersebut membunyikan klakson. Tiba-tiba anak ini melontarkan kata-kata tak terpuji kepada bapak tersebut. Inikah yang kita sebut "we're all equal" ?.


Yah, benar saya sendiri pun jijik jika melihat orang yang cenderung menjilat ataupun ingin diakui semua orang hingga melakukan berbagai cara. Tetapi bagaimanapun sebagai insan yang lebih muda kita memang sewajarnya menghormati yang lebih tua. saya ulangi lagi SEWAJARNYA. Karena hal tersebut memang sesuatu yang WAJAR dan cenderung WAJIB.

Ingatkah kalian pelajaran PPKn kelas 4 SD? di PPKn diajarkan bahwa kita harus menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda. Atau pesan Rasulullah SAW tentang orang yang harus kita hormati, beliau menjawab "Ibumu, Ibumu, Ibumu" baru "Ayahmu". semua yang disebutkan orang yang berusia di atas kita.

Pernahkah kalian diajak bicara dengan orang yang berusia jauh dibawah kalian tetapi gaya bicaranya tidak menunjukan respect kepada anda? marahkah kalian? atau tidak terima? atau ada yang mengalami seperti bapak yang saya ceritakan di atas tadi?

Entah makanan apa atau pelajaran apa yang didapat oleh generasi milenial ini sehingga bisa berpikir bahwa kita semua ini sama. Sama usianya, sama pergaulannya. Oh, mungkin benar in internet we're equal. The ages, gender, country, anything. Tetapi anda diciptakan itu di bumi, bukan di website. Jadi belajarlah menjadi manusia, bukan menjadi bitcoin. 

Oh ayolah para orang tua, inilah calon-calon yang akan mengisi dunia? Jika kemajuan teknologi hanya malah memundurkan moral lebih baik kita kembali ke era Dark Ages.