Kamis, 26 Maret 2015

ANTARA SNEAKER, CAFE, DAN HIKING

Judul yang aneh, tapi dimana lagi saya bisa mengutarakan opini pribadi. Di social media? No, that's the coward do. Dewasa ini makin banyak hal yang membuat saya merasa "orang-orang ini maunya apa?" Tapi itulah yang mereka lakukan.


Pertama tentang sneaker dan kawan-kawannya (yang saya maksud disini adalah "ootd"). Semua orang jelas pengen tampil menarik. Seperti pepatah jawa, "ajining dhiri saka lathi". Pepatah tersebut berarti "harga" dari diri kita dimulai dari pakaian. Tetapi akhir ini semua orang bergaya tidak sesuai soulnya yang bisa saya katakan cenderung "sok tau". Mereka hanya korban globalisasi. Sebagai contoh gaya grunge. Dulu orang menganggap grunge itu gembel hanya penggemar nirvana lah yang menganggap itu keren. Tetapi hari ini semua orang ketika ikut-ikutan bergaya grunge mereka sudah berasa setara dengan kurt cobain. Sudah berasa paling grunge sedunia. Padahal tau apa mereka soal grunge kecuali cuma korban internet-issue. Begitu juga dengan style yang lain. Tanpa tau seluk beluk dan esensinya. Dulu nike SB begitu populer di kalangan skater ketika saya masih aktif BMX. Begitu juga dengan Vans dan Machbet ketika saya masih sering main musik dari gigs ke gigs. Tapi hari ini semua orang berasa anak band semua berasa skater padahal mereka tau apa. Bahkan sekarang BMX dan skater di kota ini mulai langka.


Yang kedua soal cafe. Terutama kopi. Nongkrong di cafe? Jelas keren. Jelas berduit. Tapi dengan nongkrong di cafe sambil minum kopi tak membuat kalian jadi "Ahli Kopi" ataupun "Pecinta Kopi". Sekarang banyak orang nongkrong di cafe sambil minum kopi. Memang nikmat. Tapi bukankah pikiran paling dasar kalian hanyalah menunjukkan eksistensi kalian? Agar mendapat pengakuan dari masyarakat bahwa kalian orang kaya, orang gaul, atau apalah itu. Saya tidak iri. Bahkan ketika punya uang cukup pun saya tidak tertarik ke tempat itu. Yang saya tekankan di tulisan ini adalah Ketika kalian nongkrong di tempat ini tidak berarti kalian menjadi ahli kopi. Bahkan jenis kopi pun kalian tak tahu. Bisa kalian bedakan mana kopi toraja mana kopi bali?. Jadi hentikan ke-sok tahu-an kalian.


Yang ketiga soal hiking ataupun naik gunung. Saya sudah menggeluti dunia hiking sejak masuk SMA. Sudah lumayan banyak gunung yang sudah saya daki. Kegiatan ini dapat membuat saya tenang. Menjadi manusia seutuhnya karena kita bagian dari alam semesta. Tapi sekarang? Semua orang naik gunung. Yang dulunya "menghina" gunung sebagai tempat para "binatang" sekarang mereka ikut-ikutan hiking. Sedangkan mereka naik gunung hanya dengan satu tujuan, MENGGANTI FOTO PROFIL seperti kata natgeo. Tetapi yang mereka lakukan tanpa sadar telah merusak lingkungan. Kalo saya boleh menyalahkan film 5cm lah penyebabnya. Semua orang berhak naik gunung dan mengenal alam. Tapi kalau merusak? Fuck you all. Mereka naik tanpa tau esensi. Bahkan yang membuat saya sedikit iri mereka memakai barang-barang yang dulu dianggap mewah di kalangan pendaki. Mulai dari sepatu tracker yang mahal, tas carrier yang kokoh, hingga kompor gas yang tak akan mati bila tertiup angin. Tapi begaimana dengan ilmu survive? Nol besar. Ketergantungan alat canggih. Kalian tak tahu esensi naik gunung tetapi kalian sombong terhadap gunung. Taukah kalian menyakiti hati kami sebagai pecinta alam?. Dulu naik gunung aksesnya begitu mudah tanpa perizinan yang berbelit-belit tetapi semenjak kalian ada semua menjadi susah. Tiap 6 bulan mereka harus melakukan perbaikan ekosistem yang telah kalian rusak. Bahkan tega mengambil bunga abadi edelweiss. Tak menghormati sesama pendaki pula. Ingatlah ketika di alam kita semua ini sama dengan semua makhluk hidup. Kalian diwajibkan peka. Manusia akan terlihat sifatnya pada kondisi ini. Seperti kata Gie pula kita naik gunung karena kita cinta Indonesia dan rasa nasionalisme tidak tumbuh dari hipokirisi dan slogan. Tetapi dengan mengenal alam dan rakyatnya dari dekat.


Di dunia yang luas ini kalian boleh melakukan apapun. Tetapi yang membuat saya merasa marah ialah orang-orang yang melakukan sesuatu tanpa mau belajar dan mengetahui seluk beluknya. Bahkan cenderung melakukan sesuatu hanya sekedar trend maupun eksistensi terhadap pergaulan yang makin tidak jelas ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar